Kamis, 12 November 2009

Yang Terlupakan..

Kamis, 12 November 2009


Tiananmen - Tragedi Yang 'Terlupakan'
20 Tahun setelah pembantaian di lapangan Tiananmen Beijing, masih tak ada diskusi terbuka di Cina mengenai protes para mahasiswa dan akibatnya. Ini merupakan topik pembicaraan yang tabu di negeri tirai bambu tersebut.





Siapa pun yang mencoba menelusuri jejaknya, akan menemui tembok kebisuan, ketidaktahuan dan kontrol ketat polisi di depan rumah-rumah pendukung reformasi saat itu, tapi juga orang-orang yang mencoba meruntuhkan tembok tersebut.
Taman makam Wan’an di barat Beijing. Aroma pinus dan rumput memenuhi udara. Kicauan burung bersahut-sahutan. Singa-singa batu mengawasi jalan masuk ke pemakaman yang mirip taman. Salah satu pemakaman tertua di ibukota Cina itu termasuk sedikit tempat di Beijing di mana kenangan akan peristiwa 1989 bisa dilihat secara kasat mata.
Tapi orang harus lama mencari di antara ratusan batu nisan sampai menemukan yang bertuliskan tanggal kematian tiga atau empat Juni 1989. Misalnya Yuan Li. Setangkai mawar kering tergeletak di atas makamnya. Seorang pria muda dengan roman wajah serius balas menatap dari foto yang terpampang di batu nisan. Tulisan yang tercantum disana hanya sekilas merujuk pada peristiwa 20 tahun silam. Bunyinya, "Ia bahkan belum genap 30 tahun ketika tiba-tiba direnggut dari dunia."
Sekitar 15 km dari pemakaman itu, para mahasiswa muda berseliweran mengendarai sepeda di kampus Universitas Beijing. Di sini, seperti bagian manapun di ibukota Cina, jejak-jejak peristiwa 1989 mengabur, ingatan mengenainya memudar. 20 tahun setelah kematian Yuan Li dan ratusan orang lainnya, anak-anak muda Beijing tak punya bayangan jelas tentang apa yang terjadi ketika itu. Misalnya mahasiswa Jurusan Kimia berusia 21 tahun ini.
"Soal itu saya tidak tahu banyak. Di sini tidak banyak berita tentang itu, saya hanya tahu garis besarnya saja. Saya tidak tahu pasti apa penyebab sesungguhnya dari aksi protes saat itu, jadi saya tidak bisa bicara tentang itu."
Banyak mahasiswa mendadak gugup ketika ditanya perihal peristiwa 1989, juga mahasiswa 24 tahun dari Jurusan Ekonomi ini. "Yang jelas bukan peristiwa menyenangkan. Ketika itu terjadi ketidakadilan. Tapi itu sudah lewat, saya pikir sekarang kita harus mengurusi masa depan. Orang seharusnya tidak terlalu banyak memikirkan hal-hal negatif."
Peristiwa 4 Juni 1989 masih merupakan hal tabu di Cina. Tidak ada diskusi atau debat terbuka mengenainya. Dalam bahasa keseharian, peristiwa itu digambarkan hanya dengan dua angka, empat dan enam. Ling Cangzhou, pengarang yang dikenal kritis mengatakan, kebanyakan orang masih merasa takut. "Media Cina dewasa ini sedikit lebih terbuka daripada 20 tahun lalu. Tetapi tetap saja ada dua ladang ranjau, yaitu 4 Juni dan Falun Gong. Barang siapa menyinggungnya, ia ibarat menyentuh aliran listrik berkekuatan besar. Bisa mati di tempat. Orang tidak boleh mengorek-ngorek tema yang betul-betul tabu ini."
Stasiun kereta bawah tanah Muxidi, dekat lapangan Tiananmen yang arti harafiahnya kedamaian surgawi. Di kawasan yang lalu lintasnya padat inilah Jiang Jielian tewas 20 tahun silam. Ia dan puluhan orang lainnya berlindung dari rentetan peluru tentara, di balik petak-petak bunga. Sebutir peluru menembus jantung pemuda 17 tahun itu. Ibunya, Ding Zilin yang kini berusia 72 tahun berjuang melawan tembok kebisuan yang mengelilingi kematian putra tunggalnya.
"Kenangan tidak bisa dihapuskan. Lapangan Tiananmen dulu penuh dengan bercak darah. Mungkin tempat itu sekarang tampak indah, tetapi noda darah tidak bisa dicuci bersih. Bekas-bekas lubang peluru bisa ditambal. Tapi tetesan darah sejarah tidak bisa dihilangkan,“ demikian Ding Zilin.
Setiap tahun, Ding Zilin, pendiri organisasi "Ibu-Ibu Tiananmen“ mengirim surat pada pemerintah Cina. Mereka meminta penjelasan dan rehabilitasi nama baik para korban 1989. Tak sekalipun Ding mendapat jawaban.
Di apartemen kecil di gedung tinggi yang ia tinggali, pensiunan profesor itu memang boleh menerima wartawan, tetapi bukan dari media Cina. Kunjungan dari luar negeri akan didaftar secara rinci dan dilaporkan pada polisi. Meski begitu Ding Zilin tidak pernah berniat menyerah.
"Pertama kami menuntut agar pemeintah mendengarkan kami dan berhenti mengawasi keluarga korban. Kami juga menuntut hak untuk mengekspresikan duka cita kami secara terbuka. Kami menuntut agar korban yang sangat miskin mendapat ganti rugi tanpa prasyarat politis. Dan agar korban yang luka parah mendapat dukungan pemerintah seperti penyandang cacat lainnya. Ini tuntutan minimal dari kami tapi tak ada satupun yang dikabulkan pemerintah," ungkap Ding Zilin.

Ding bukanlah satu-satunya orang yang menuntut penilaian ulang secara prinsip peristiwa 1989. Bao Tong juga. Mantan penasehat ketua partai komunis dan pendukung kuat reformasi ini menilai, adalah genting untuk melakukan pembaruan masa lalu. Tetapi seperti Ding Zilin, seruan Bao Tong juga hanya didengar di luar negeri. Pria 76 tahun itu tinggal di Beijing layaknya tahanan rumah, tidak boleh memiliki akses internet dan senatiasa diawasi.
"Pemerintah harus membuka semunya. Jika kebenaran ada di pihak mereka, mereka sama sekali tidak perlu takut pada diskusi mengenainya. Jika rasa percaya diri pemerintah cukup tinggi, jika mereka yakin rakyat mendukung pendirian mereka, maka rakyat seharusnya dibiarkan mengeluarkan pendapat dan tidak dilarang bicara."
Dari sudut pandang Partai Komunis, peristiwa 4 Juni sudah selesai. Perkembangan ekonomi dalam dekade-dekade terakhir, banyaknya perubahan di Cina, merupakan bukti bahwa tindakan yang diambil ketika itu sudah tepat, demikian dikatakan. Karena itu, debat mengenainya, jikapun ada, hanya terjadi di internet, jauh dari media yang diawasi pemerintah, kata pengarang Ling Cangzhou. "Di luar media yang dikontrol negara, ada banyak yang ingin mengetahui kebenaran sesungguhnya. Di internet, tema ini dibicarakan, secara terselubung dan tidak langsung. Ya, orang-orang tahu bagaimana polisi bisa melacak internet. Sampai tema itu bisa dibicarakan betul-betul secara terbuka, butuh waktu 10 tahun lagi. orang tidka bisa mengharapkan itu terjadi di bawah pemerintahan Presiden Hu Jintao."
Di luar taman makam Wan’an, para informan tanpa seragam berdiri di gerbang besi. Sampai Cina mengijinkan debat terbuka mengenai 4 Juni, pemakaman itu merupakan satu-satunya tempat di mana dukacita bagi para korban boleh ditunjukkan secara terang-terangan.

sumber:www.dw-world.de

0 comments:

 
3anism ◄Design by Pocket, BlogBulk Blogger Templates